Pernah Puas?

Posted by Leila Husna On Selasa, 21 Desember 2010 0 komentar

Seberapa jauh tingkat kepuasan manusia? Ada yang bisa jawab?

Sebagai contoh dalam hal badan. Nggak usah jauh-jauh dalam hal pemisalan, misalkan saja aku. Aku selalu ribet dalam masalah berat badan. Bukan kurang, tentu saja lebih! Dulu aku ribet sekali, pake baju ini nggak mau, pake baju itu nggak mau. Alesannya cuma satu : nggak cocok dan malah bikin lebih kelihatan gendut. Oke, emang mentel. So what? Dan tanpa diduga, suatu pagi pas upacara ada temen sekelasku yang bilang "aku pengen punya badan kayak kamu" What the hell is going on? :o Aku seperti disadarkan bahwa aku seharusnya bersyukur atas apa yang ku punya. 

Tapi sekali lagi saya tekankan bahwa manusia itu tidak pernah puas. Jangankan saya yang jauh dari kesempurnaan, teman saya yang saya anggap nyaris sempurna, cantik, tinggi, langsing, putih, mancung, pinter, baik, itu pun dia masih kurang puas dengan badannya. Pernah suatu saat dia bilang ke temennya "aku pengen punya hidung kayak dia" wow kaget speechless. Dia yang aku anggep udah nyaris perfect aja ternyata masih merasakan hal yang kurang dalam badannya.

Ada lagi contoh yang nyleneh tapi nyata. Jadi kali ini contoh manusia yang tidak pernah puas bukan temenku tapi pacarnya. Setiap hari temenku dipaksa diet sama pacarnya, disuruh muterin lapangan kalo pagi-pagi dan kalo larinya udah selesei cuma dikasih minum sedikit, katanya sih biar nggak percuma larinya, makannya juga dibatesin. Helloo?? kejem banget sih lu jadi cowok!! Katanya cinta, kok nggak terima apa adanya????

Ada juga temenku yang menurutku badannya udah bagus eh pengen dikecilin lagi, ada juga yang kurus pengen digendutin. Sekali lagi saya tanya : sampai mana akhir dari titik kepuasan manusia? Yang gendut pengen kurus, yang kurus pengen gendut. Yang lurus pengen keriting, yang keriting pengen direbonding. Yang pendek pengen tinggi, yang tinggi pengen pendek (eh ada nggak sih? nggak ada ya? oke ralat) Nah lo?
Ada lagi temenku yang kupikir sudah sangat beruntung karena dia bisa masuk 10 besar, tapi tanpa diduga ternyata dia masih kurang puas karena nggak bisa jadi yang terbaik. Wow, aku aja nggak mikirin peringkat, yang penting TUNTAS! hahaha.

Sama halnya dengan para koruptor, lihat saja bagaimana mereka berlomba saling korupsi karena tidak ingin kehabisan harta. Padahal tanpa korupsipun mereka paling nggak masih bisa makan, nggak seperti mereka orang-orang jalanan. Untuk mendapat sebungkus nasi saja mereka harus minta-minta.

Ada juga satu contoh, saat kita heboh seneng banget Timnas bisa nyetak gol, kita lihat saja ekspresi pelatihnya, boro-boro ikut lonjak-lonjak kayak kita, senyum aja enggak! Ekspresi aja datar banget, kehabisan pulsa untuk download emoticone ya Pak??

Bahkan di Al-qur'an pun diterangkan bahwa nanti di akhirat manusia yang pahalanya paling banyak pun masih saja merasa tidak puas "kenapa dulu sewaktu saya di dunia tidak mencari pahala sebanyak-banyaknya" Nah lo? yang paling banyak pahalanya aja masih belum puas, gimana yang lebih banyak dosanya? *Astaghfirullah*

Sekali lagi saya tanya : Sampai mana titik kepuasan manusia? jawabannya : Tak terhingga! Atau mungkin tidak dapat didefinisikan!

Lalu dengan qodrat "manusia tidak pernah puas" akan menjadi alasan untuk kalian menjadi hamba yang tidak bersyukur? Itu salah besar! Lihat seberapa banyak orang yang cacat! lihat seberapa banyak anak yang tidak sekolah! Lihat berapa banyak orang yang mati karena kelaparan! Kita yang mempunyai anggota badan lengkap, bisa sekolah, bisa makan 3kali, masih belum bersyukur?? *astaghfirullah*

Tidak munafik, aku juga kadang kurang bersyukur atas apa yang kumiliki, seperti contoh di awal tadi. Untung masih ada orang-orang terdekat yang menjadi perantara penyadaranku kalo aku udah melenceng terlalu jauh.
Dulu waktu SMP aku selalu mengeluh tentang nilai, hingga suatu saat temanku bilang "itu udah bagus Lel, aku aja yang dapet 7 udah seneng banget. Kamu kalo selalu liat ke atas nggak akan pernah bersyukur" And yeah aku mulai sadar sejak itu.
Dulu waktu masih sama si Ex, pernah suatu saat dia bilang "buat apa sih kamu diet? Aku udah suka kok sama kamu yang sekarang. udah laah nggak usah nyiksa badan"  And yeah mulai saat itu aku belajar menerima diri. Orang lain aja bisa terima kita, kenapa kita malah enggak?

Pernah suatu saat aku nonton FTV , ada satu kalimat yang bisa nyupport aku kalo aku mulai nggak bersyukur "gendut itu anugerah, langsing itu pilihan" Nggak semua orang bisa jadi gendut, tapi kalo langsing sih udah banyak contoh di sekitar kita yang berhasil langsing. Banyak tetanggaku yang beli vitamin sana sini cuma buat bisa gendut, awalnya yang berhasil cuma pipinya yang gendut eh 1 bulan kemudian udah mbalik lagi ke kurus. Lalu buat apa aku depresi memikirkan berat badan yang tak kunjung turun? Nikmati aja laah :) Dulu kalo ada yang bilang ke aku "kamu kok tambah gendut?" pasti aku langsung beban pikiran. Kalo sekarang sih nyante aja dan kadang malah jawab sekenanya "iyalah, masa udah merdeka masih kurus :D"


Target mencapai sesuatu itu memang penting, tapi jangan lupa tetap bersyukur atas apa yang telah kita capai saat ini ;)


NB : Ini sekedar argumen, kalau nggak setuju ya monggo. Kritik dan saran justru dinanti. Kalau ada yang merasa tersinggung ya maaf, bukan maksud saya untuk menyinggung. Hanya kebetulan cerita Anda sama dengan yang saya tulis sebagai sampel atau mungkin emang sengaja saya tampilkan (nah lo?? nggak papa yaa, berbagi cerita tidak akan membuat derajat kita rendah kok (ya iya laaah! -,- *namanya juga orang lagi alesan*)

0 komentar:

Posting Komentar